Liontin
“Salah jika ayah mengkhawatirkannya mencintaiku, dia
memang perempuan tapi dia tau diri.”
Begitulah kalimat yang sebenarnya muncul dalam
pikiranku setelah habis semalam itu aku bercerita pada ayah jika aku mencintai
seseorang yang benar-benar tidak pernah mencintaiku. Waktu itu ayahku masih
amat mengerti aku, makanya aku bercerita padanya.
Seperti sekarang ini ayah, aku hanya bisa berbicara
dan bercerita dengan kalung pemberianmu ini, tidak ada yang lain. Siapa yang
lain? Aku tak punya apa-apa. Mungkin ayah tak tahu.
Dan aku sedang belajar, belajar tahu bahwa dunia
selalu mengajarkan tentang kebenaran. Kata ayah, jangan mentang-mentang semua
orang tidak luput dari kesalahan makanya kamu bisa seenaknya saja. Justru
janganlah luput dari kesalahan karena kesalahan yang akan mengajarimu berbagai
macam kebenaran.
Aku tahu itu, maaf ayah saat ini aku tidak pernah
mencari kebenaran, tapi aku selalu berusaha mencari makna hakiki dari
kehidupan, entah salah entah benar. Yang kini aku sudah sedewasa ini.
***
Sepulang sekolah ketika itu aku masuk Sekolah
Menengah Pertama. Kubiasakan diri berjalan kaki, dan belum genap seminggu aku
masuk sekolah sudah sering sekali aku terlambat. Tapi biarkanlah mungkin proses
adaptasi sekolah baru.
Kira-kira umurku menginjak 12 tahun dan aku seornag
lelaki, ya benar aku seorang anak lelaki yang amat suka bermain sepak bola
sejak Sekolah Dasar. Tapi sore itu saat akan pergi bermain sepak bola, aku
menemukan sebuah kalung di meja belajarku. Kalung perak dengan liontin bertuliskan
namanku “Ardhian” dan sebuah lambang klub sepakbola. Aku terheran.
Dan ternyata benar, ayahku yang memberikannya
untukku. Kata ayah dia sengaja memesankan kalung dan liontin unik itu buat aku.
“Biar kamu terlihat gagah dengan kalung itu.” Kata
ayah sambil tertawa di malam hari di sebuah ruang tamu. Ada ibu juga disitu.
Aku hanya diam dan heran. Ayahku memang aneh tapi
dia asyik dan baik. Bayangkan saja aku seorang anak lelaki diberikan sebuah kalung
lengkap dengan liontinnya. Sebuah kenyataan yang lucu. Apa ayah sebenarnya
ingin anak perempuan? Tapi aku sudah punya kakak dan dia juga perempuan. Lantas
apa? Ah ayahku memang aneh.
“Jangan anggap itu aneh, suatu saat nanti kamu akan
mencintai hal-hal yang aneh. Lihat itu.” Kata ayah lagi sambil menunjuk fotoku
ketika masih balita dengan menaiki kuda mainan kecil yang terpampang di dinding.
***
Benar saja dan aku memang selalu mengenakan kalung
itu tiap saat tiap waktu dan kemanapun aku pergi. Kalung dengan liontin
bertuliskan namaku itu.
Suatu kali di sekolah aku pernah dilarang oleh pak
Guru untuk tidak menggunakan perhiasan. Aku bilang iya tapi lain waktu aku
pasti memakainya lagi.
Sampai kisah kehidupan suka dukaku dimulai. Aku
mulai mencintai, aku mulai cemburu dan aku mulai berusaha mengerti jalan kehidupan.
Selama ini semua berjalan normal meski pahit manis memang ada.
Aku selalu bercerita pada ayah dan tentunya aku
selalu menggunakan kalung itu. Entah kenapa aku seorang bocah lelaki dan ayah
pasti tahu itu. Mungkin ayah bermaksud agar ketika aku menginjak dewasa aku
tidak pernah melupakannya dengan kalung itu.
Sampai usiaku seperti sekarang ini yaitu 18 tahun.
Aku tetap memakainya. Kalaupun tidak, aku pasti menyimpannya dan jangan sampai
hilang. Sekarang aku sudah kuliah dan aku harus meninggalkan ayah dan ibu yang
berada di kampung halaman.
Suatu saat aku merasa aneh saat aku tidak memakai
kalung itu. Benar saja liontinnya hilang. Benar liontin yang ada namaku dan
lambang klub sepakbola itu hilang entah kemana. Aku sudah mencari dan tidak ada
disekitar kamarku.
Tak lama berselang ayahku sakit, aku ditelepon kakakku
bahwa ayah sedang berada di ruang ICU rumah sakit di kota dan aku harus kesana.
Benar saja ayahku terserang gejala stroke karena
darah tinggi. Entah kenapa dan itu tiba-tiba. Saat aku sampai disana ayah bisa
melihatku datang dia tersenyum. Seakan menyambut kedatanganku itu dengan cara
yang amat menyenangkan dan bahagia. Seakan aku datang dengan membawa kabar yang
amat bahagia.
“Ayah kenapa?” tanyaku yang langsung berdiri di
sampingnya dengan pakaian penjenguk.
“Tidak apa-apa, kamu datang dengan siapa?”
“Sendiri,” jawabku sambil melihat ibu yang datang
membawa makan.
“Kalungmu mana? Kenapa kamu terlihat rapi sekali.”
Tanya ayah lagi dengan suara parau selayak orang sakit.
“Aku habis dari kuliah maklum calon guru. Kalungnya
ada di kamar kos, kutinggalkan disana.” Jawabku seakan memiliki kesalahan yang
amat besar.
Tidak banyak lagi yang bisa kukatakan dan sebentar
menemani ayah aku pamitan pulang. Entah kenapa akhir-akhir ini ayahku sering sekali
sakit dan harus dirawat di rumah sakit. Ini saja sudah ketiga kalinya beliau
dirawat dan di ruang ICU. Aku tidak pernah habis pikir apa yang terjadi dengan
ayah belakangan ini.
Beberapa hari kemudian ayah boleh pulang. Aku harus
pulang apapun yang terjadi dan benar aku memilih meninggalkan tanggung jawabku
ditempat perantauan dan pulang untuk menjenguk kesembuhan ayah.
Sampainya disana ayah sudah terlihat bugar lagi.
Meski belum berangkat bekerja. Ayah sudah berkegiatan seperti sebelumnya
mengerjakan tugas rumah.
“Ayah punya sesuatu untukmu di ruang tamu. Lihatlah
sana.” Kata ayah saat aku habis meminum teh pagi itu.
Aku berlari menuju ruang tamu dan disana ada dua
buah buku berjudul Mencari Jatidiri dan Belajar Komputer. Serta satu buah gelang
warna hitam dengan tulisan “friend”. Aku berpikir sejenak dan aku tertawa kecil
bahwa ayah memang senang membuatku menjadi anak yang aneh. Terlebih saat aku
bilang pada ayah bahwa aku ingin beli celana baru.
Ayah menjawab, “Tidak usah, kamu cocok memakai
celana yang semacam itu.”
Aku tidak habis pikir kenapa ayah begitu suka dengan
sesuatu yang ku anggap aneh. Dan lebih anehnya lagi pada saatnya nanti aku
menyukai kenanehan yang aneh itu. Seperti ayah tahu apa mauku di masanya.
“Ayah memang aneh.” Pikirku dalam hati sambil
membuka lemari mencari dimana liontin bertuliskan namaku dan lambang klub
sepakbola yang hilang itu.
Wonosari 2012
Komentar
Posting Komentar