Bioskop
Roman dari kisah
kasih sayang seorang lelaki yang mungkin menjelma menjadi suatu derita. Padahal
awal dari sebuah derita itu adalah rasa sayang tulus yang selalu mengharapkan
belasan sebuah penghargaan dari orang yang dia sayang. Tanpa menginginkan suatu
belas kasih apapun, tanpa ingin mendapatkan kata puji dari orang lain. Hanya
berharap pada suatu yang dianggapnya akan mendatangkan suatu balasan dari
sebuah niat tulus dari hatinya. Serta balasan dari Tuhan mengenai kebenaran sebuah
kebahagiaan.
Aku pagi itu
masih tertegun di samping pasangan rekah mawar yang merayakan hari jadinya di
teras depan rumahku. Aku hanya bisa menatapnya, menikmati, dan memerhatikan
tiap detik bahagia Tuhan yang diberikan Tuhan kepadaku lewat pertunjukan
keindahan mawar itu. Aku yang asyik menonton hal itu tak sadar waktu yang
sedari tadi mengantarku pada mayanya dunia lamunan, telah mengantarkanku
kembali ke dunia nyata dimana bagiku dunia nyata ini sangatlah menyedihkan,
menakutkan dan tak pernah kunjung membuat suatu perubahan atau tanda yang baik
buatku. Tapi aku hanya bersabar, menanti sebuah kasih Tuhan yang suatu waktu
bisa memutar sampai terbalik sesuatu yang tegak itu tadi.
**
Hidupku seperti
film yang sedang beredar laris dari mulut ke mulut manusia. Tapi aku hanya
sebagai penontonnya saja, aku bukan artis dalam film itu, aku bahkan tak tau
kapan aku jadi figuran dan apakah aku bisa? Yang aku tahu, aku berada dalam
film yang aku tonton sendiri. Menikmati kisahnya, memahami alurnya dan
mengapresiasinya dengan diriku sendiri.
Seperti itulah
kisah roman tragis dari sebuah cinta yang hampa dan tak jua dikunjungi sang
dewi. Diberi harapan namun tak pernah diberi tahu tentang masa depan harapan
itu, bagaimana kisah harapan itu selanjutnya dan apa yang akan terjadi pada
harapan itu. Sekitar lima belas tahun lalu saat umurku baru menginjak 13 tahun,
aku telah mendapat suatu hal yang mungkin tak didapat orang lain. Aku diberi
kesempatan untuk mencintai, berusaha menyatakan cinta dan berjuang untuk
mendapatkan cinta. Memang terlalu dini bagi seorang yang baru berumur 13 tahun
seperti aku dulu. Tapi itulah yang setauku dinamakan karunia, saat kita
mendapatkan sesuatu yang orang lain tak dapatkan. Itulah yang menurutku disebut
karunia. Tapi aku mencintainya, artis itu namanya Manda, teman satu angkatanku
saat aku berada di bangku SMP. Saat yang belum wajar bagi seorang bocah yang
baru habis berdiri untuk membicarakan tentang cinta. Tapi apapun yang dikata,
aku mencintainya. dan kini cintaku membawanya dalam dunia yang bukan duniaku.
Membawanay dalam dunia kebahagiaan bersama lelaki yang tak ku kenal sebelumnya.
Mungkin dia orang yang diceritakan oleh Manda lewat info pers yang mengulasnya
sangat lengkap.
“Aku ingin
seperti lima tahun lalu, aku ingin mendapatkan kebahagiaan dari sebuah
kekaguman seperti lima tahun lalu, aku ingin mendapatkan keindahan taman
seperti lima tahun lalu, aku ingin orang – orang kembali padaku, teman-temanku
dan orang yang selalu memperhatikanku, seperti lima tahun yang lalu. Aku ingin
semua yang lima tahun lalu aku dapatkan dapat aku miliki lagi. Seperti cintaku
untuk manda yang awet ini.”
“Tapi kenapa
hanya cinta saja yang awet? Bagaimana dengan kebersamaan? Bagaimana dengan
kesetiaan? Saling kepercayaan? Bagaimana dengan teman-temanku dahulu? Dimana
mereka?” Gumamku yang masih tertegun dalam kendaraan lamun yang mengantarkanku
pada dunia yang maya. Membayangkan seperti lima belas tahun lalu, dimana segala
yang aku dapat adalah yang paling sempurna, segala yang Tuhan tau yang terbaik
buatku, Dia berikan untukku.
Tergumam itu,
aku masih terduduk dibangku kayu yang belum lama dibeli ayahku ini. Di samping
pasangan mawar yang sedang dibahagiakan tadi. Aku seperti menjadi tamu istimewa
mawar itu. Pagi itu, sekolahku libur karena guru-guru sedang rapat yang aku
sendiri tak tau apa yag dirapatkan. Mungkin seperti para DPR yang membahas
negara ini dengan penuh canda, tanpa sikap keseriusan dan sesekali hanya
mangumpatkan emosi mereka pada publik yang sebenarnya menimang-nimang mereka
dalam pelukan uang. Tapi biar sajalah, belum waktunya aku memikirkan itu.
Memikirkan diriku sendiri dengan apa yang hatiku ingin otakku juga
memikirkannya ini saja, aku sudah kualahan sampai tak jarang juga memaki bahkan
mencerca karunia bodoh yang diberikan Tuhan padaku ini. Aku masih berada dalam
dunia nyata saat aku mulai menjadi diriku sendiri. Menjadi seperti lima belas
tahun lalu sangatlah indah. Dimana aku pertama kali mencintainya, aku mencitai
Manda. Wanita yang aku kagumi sejak dulu. Aku sendiri tak tau apa yang
membuatku kagum padanya. Yang pasti senyum kecutnya tak pernah mengurangi rasa
cintaku ini. Pelukannya dengan lelaki lainpun tak melelehkan es batu cinta yang
telah membeku keras di lemari es hatiku.
“Dunia seperti film” Ujarku yang mengharap tanggapan dari mawar
disampingku. Tapi aku lupa aku tak bisa bicara dengan mawar itu. Aku pun
tersenyum sendiri dan memilih membalikan pikiranku dalam maya dunia kembali
daripada dianggap gila tetangga karena bicara sama mawar.
**
Tiba-tiba
aku tersadar dari satu hal yang lama tak aku jumpai, hibernasi kedalam suatu
tempat yang tak pernah aku kunjungi sebelumnya. Aku tau ini tempat apa. Dan aku
berharap disinilah aku bertemu Manda, aku harap di tempat inilah nantinya aku
sampaikan rasaku lewat pos udara yang aku berikan pada merpati mulutku, sebuah
cinta untuk Manda.“Manda, aku mencintaimu, aku membutuhkanmu” itulah kalimat
pertama yang ingin aku sampaikan langsung dari ponsel mulutku ke hati Manda
dengan harap aku mendapat balasan juga langsung dari hatinya.
Aku
tau dan aku sadar bahwa aku gak akan bisa dan pernah punya kesempatan buat ngomong seperti itu,
aku tau semua dari hidupku saat ini yang awam, yang selalu mencoba mendekati
kata sempurna namun semua yang aku pikir mendukungku untuk mencapai apa yang
aku inginkan, justru malah datang sebagai tanjakan yang setiap saat bisa
menjegal dan menjatuhkanku. Aku sadar karena aku tau pada cermin introspeksi
diri yang setiap saat menawarkan dirinya untuk memunculkan semua kekuranganku
lewat bayang bayang cacian dan orang orang yang mencerca tentangku dan hidupku
yang kuanggap aneh ini. Selalu ingin menjadi yang terbaek buat Manda, tapi yang
bisa menjadikanku orang terbaik hanyalah cambuk yang berkilau semu dari mata
yang terbias sayup melalui gambarnya. Tapi aku bangga dan senang karna aku
mendapatkan bias itu, aku bisa menyaksikan bias wajah Manda walau hanya dari
sebuah biasan indah langit yang memantulkan bayang wajahnya.
Hanya
menahan rasa dan memilih diam daripada jadi pengacau kehidupan orang lain yang
sedang bahagia. Walaupun sebenarnya ingin kulemparkan apa saja yang ada di
depan ku tepat ke hadapan mereka. Ingin ku umpatkan seluruh isi taman untuk
kebahagiaan mereka. Tapi aku memilih diam, memilih tenang menyaksikan
pertunjukan drama dalam kisah yang sebenarnya tak pernah ingin ku saksikan.
Keseriusan, kebahagiaan, saling percaya. Sementara para pemirsa lain menikmati
drama itu, mereka bisa menemukan alur yang menyenangkan dari kisah drama itu,
mereka kadang tertawa, tersanjung bahkan terpana melihat aksi kedua pemin drama
tersebut. Sementara aku hanya terdiam di sisi pojok bioskop dengan mata nanar
yang tak mampu melihat lagi sepertinya, berharap harap dan bertanya kapan aku
akan jadi aktor pria dalam drama itu? Kapan aku jadi pasangan wanita di film
itu? Semua tak pernah terjawab karna aku tak memiliki usaha untuk mendapatkan
tempat di sana, aku tak berbakat jadi aktor, ak tak pantas jadi pemeran utama
di film itu, dan yang pasti aku lebih tak pantas lagi berada disana, di samping
artis wanita itu, aku tak pantas menjadi pasangnnya dalam film itu.
“Aku
tak pantas !” ujarku tiba-tiba yang membuat beberapa orang yang berada di
sampingku membalikkan perhatiannya kearahku dan
memeperhatikanku dnegna seksama penuh keheranan.
Aku menyadari
hal itu, hanya tersenyum palsu daripada mengumbar rasa malu yang sudah
terlanjur kuumpatkan lewat mulutku tadi. Lalu seorang wanita lansia didekatku
menyapaku dengan teguran nasehat.
“Sudahlah, Nak !
itu hanya film !” Kata wanita tua itu.
Aku sebenarnya
sudah tau tanpa harus diajarkan wanita tua tadi. Aku sedikit menahan marah yang
sengaja aku kurung agar tak membuat kekacauan lebih di bioskop itu. Aku tau,
aku bukan anak kecil. Aku tau itu hanya sebuah film dan buakn film itu yang aku
tangisi, bukan alur tentang kepedihan kisah itu, bukan tentang kepiawaian
sutradara mengatur semuanya. Tapi karena artis wanita itu, karena senyum
bahagia artis wanita itu dan pasangan kekasihnya itu. Aku mencintai wanita
dalam film itu, aku mencintai artis wanita dalam film itu. Memang aku tau aku
bukan siapa siapa, tapi aku tetap mencintainya.
Sementara film
itu masih menceritakan kisahnya pada pemirsa yang semakin terpaut oleh tipu
muslihat drama mereka. Ak tak tahan, aku ingin keluar dari bioskop itu, aku berjalan
pelan menuju pintu keluar, tapi pintu bioskop terkunci. Semua orang masih
terbawa dengan drama itu sementara aku mencari cari jalan lain untuk keluar
dari bioskop itu, aku mencari pintu lain bioskop itu, tapi tak kutemukan, aku
cari kunci lain pintu itu, tak ada, mencari penjaga pintu, mencari siapa yang
membawa kunci pintu bioskop itu, tak ada yang tau. Sementara orang orang masih
tertawa bahagia dengan adegan drama itu, aku sibuk dengan diriku sendiri yang
ingin keluar dari bioskop itu, cepat cepat menghirup udara bebas, cepat cepat
mendapatkan sesuatu yang jauh lebih menyenangkan daripada apa yang orang orang
tertawakan di bioskop ini. Tapi aku tak juga menemukan kunci pintu itu. Aku tak
juga bisa keluar dari bioskop itu.
Aku akhirnya
menyerah, aku lelah mencari jalan keluar dan akaupun kembali ketempat duduk ku
di pojok kanan bioskop nomer 108.
Sementara film itu masih berjalan, orang orang belum mengalihkan perhatiannya.
Dan aku masih sibuk dengan urusanku. Sibuk mencari jalan keluar. Aku tanya
penonton didekatku, mereka tak mampu jawab, malah ada yang menertawakanku di
kiranya aku cengeng menonton drama seperti itu. Ada juga yang tak menjawab
saking asyiknya mengikuti tiap part dari splitan drama itu. Aku seperti ingin
menangis, bukan karena terharu menyaksikan drama itu seperti yang lain, tapi
aku ingin menangis karana tak tahan lagi di dalam bioskop itu, tak tahan dengan
udara panas dan hawa cemburuisme yang menekan tiap kulitku. Tapi aku tak bisa
apa apa, aku harus menunggu sampai drama itu berakhir untuk bisa keluar dari
bioskop itu. Aku harus memaksa diriku menonton drama itu, mengikuti alurnya dan
menikmati kisahnya.
Aku terkunci di
suatu tempat yang sebenarnya tak ingin lama lama aku berada di dalamnya. aku
sadar akan kekacauan ini, tapi lagi lagi aku memilih diam daripada menjadi
cairan pendosa yang menjamah jamah. Dan akhirnya aku tau bahwa yang membawa
kunci pintu itu adalah sang artis drama itu. Dia lah yang menjadi penjaga pintu
itu. Dia lah yang memepersilakan siapa saja masuk kedalamnya, tapi dia juga
yang membuat orang sulit untuk keluar dari bioskop itu. Sebenarnya aku ingin
menemui wanita itu dan meminta kunci pintu bioskop itu. Tapi aku malu, aku
minder karena orang orang akan mencercaku. Tak sewajarnya aku berada disana
bersama artis wanita itu. Dan atas negativnya pikiranku itu. Ku urungkan niatku.
Aku kembali memilih terdiam dan kembali ketempat duduku.
Saat aku merasa
terbangun dari tidurku di sebuah kursi bioskop paling pojok. Aku tak lagi
berada dalam hibernasi dunia maya yang membuatku terkulai oleh cerita roman
filmnya. Aku tiba-tiba berada dalam hawa sejuk desa yang tak asing lagi
dihudungku. Aku terbangun dan aku sadar aku terhipnotis cinta lima belas tahun
lalu dengan seseorang yang sekarang telah menjadi orang besar dan melupakan
makhluk kecil sepertiku ini. Aku lalu beranjak dari kursi tidurku pagi itu dan
tersenyum saat tau hari itu telah siang.
Wonosari 2011
Komentar
Posting Komentar