Penjual Mimpi


Disebuah kota kecil di tengah desa yang tenteram dan tanahnya subur, namanya Pogoh. Terletak di sebuah puncak pegunungan yang hijau permai. Tiap orangnya yang ramah dan santun. Masih sangat kental sekali dengan budaya tradisional yang begitu terlihat dari penampilan masyarakatnya. Di kota kecil yang amat sederhana itu, terdapat berbagai tempat yang menghiasi seperti pasar, terminal dan beberapa pertokoan. Kota kecil itulah yang menjadi pusat keramaian desa. Menjadi pusat ekonomi dan apa saja yang dibutuhkan masyarakat desa, mesti pergi di kota kecil itu. Tepatnya terletak di pusat kota yang juga tidak begitu rame setiap harinya. Meski begitu, kota itulah kehidupan masyarakat berlangsung. Seluruh hubungan masyarakat menjadi satu.
Ada sebuah pasar di antara kota kecil tersebut, dimana disitulah para pedagang berkumpul. Seluruh pedagang bahkan ada di tempat itu. Semua kebutuhan masyarakat pula tersedia di pasar tersebut. Sehingga pasar itulah yang paling ramai setriap harinya meskipun tidak seramai kota yang semestinya. Semua orang setiap pagi pasti turut meramaikan pasar itu utnuk membeli apa saja yang mereka butuhkan. Makanya kegiatan pasar tak pernah berhenti dan juga pasar tidak pernah tutup selama sehari semalam.
Bejubel penjual pakaian, makanan, bahan makanan, bumbu dapur sampai dengan perabotan rumah tangga ada dan tidak teratur menempati tiap kios di pasar itu. Satu pedagang sama lain saling bersaing dengan sehat sehingga kekeluargaan sangat kental di pasar tersebut. Terutama sesama pedagang.
Diantara penjual yang begitu banyak, aku menemukan satu penjual yang tidak biasa. Bukan karena fisik orang tersebut berbeda dengan yang lainnya, namun yang membuatnya berbeda adalah barang yang dia jualkan. Saat yang lain menjual barang kebutuhan, pria tersebut menjual mimpi. Banyak orang heran saat dia juga turut berteriak menjajakan dagangannya itu.  
“Mimpi… Mimpi, siapa mau beli mimpi? Murah sekali..” begitu dia menawarkan dagangannya setiap harinya.
Sebagian orang yang sudah hafal dengannya membiarkan saja orang itu. Bahkan ada yang menganggapnya gila. Sehingga dia seringkali di acuhkan dan bahkan ditertawakan saat menjajakan dagangannya. Orang yang melintas hanya sekedar melirik dan kemudian ketikan agak jauh mereka pasti berbisik dan tertawa.
***
Saking penasarannya, aku pun ingin sekali menyapa penjual itu. Sekedar ingin menanyakan apa yang dia jual tersebut. Mimpi, tapi mimpi semacam apa? Bukankan semua orang bebas bermimpi di dunia ini dengan gratis dan sepuasnya? Tapi kenapa masih juga ada yang menjual mimpi seperti dia.
Awalnya aku mengira dia hanya gila sama seperti kebanyakan orang bilang. Namun setelah aku pastikan beberapa kali lewat di depannya, aku bisa melihat dari matanya jika penjual itu memang orang waras. Sehingga makin menambah rasa penasaranku untuk mengetahui mimpi yang dia jual itu.
Maka pada suatu kali, aku menghampirinya di pagi hari sekitar jam 9 dan dia masih setia menunggu pembeli sambil sesekali merokok.
“Permisi, Pak? Apa saya mengganggu?” tanyaku menyapanya yang sedang asyik menghitung sesuatu dalam tas kecilnya dan tiba-tiba terlaget melihatku sudah ada di depannya.
“Iya, Nak. Apa ada yang bisa saya bantu?” tanyanya keheranan.
“Apa bapak yang menjual mimpi itu?”
“Benar sekali, apa kamu ingin beli?” tanyanya memburuku sambil tersenyum sangat santai.
“Memang harganya berapa, Pak?”
“Seribu untuk satu mimpi, murah kan?”
Kami terdiam sesaat, tak ada yang bisa aku lihat untuk dibeli. Hanya sorot mata penjual yang begitu meyakinkan itu sangat membuatku semakin penasaran.
“Kenapa Bapak menjual mimpi? Bukankah setiap orang bebas bermimpi dengan gratis tanpa harus membeli?” tanyaku kemudian. Penjual itu tertawa kecil dan berdehem setelah itu menjawab.
“Kalau yang ini, mimpi yang beda, kalau setiap orang kan bebas bermimpi dan mimpi itu pasti mimpi yang biasa. Tapi yang saya jual ini mimpi yang berbeda, dan luar biasa.”
“Apa mimpi yang bapak jual itu bisa dicapai, pak atau setidaknya menjadi kenyataan?”
“Yang namanya mimpi, mau kenyataan apa tidak itu kan tergantung sama Tuhan. Saya bukan Tuhan lho, Nak!” kata bapak itu sambil menyulut rokok cigaretnya.
Diam sesaat aku terpaut dengan omongan santai bapak penjual mimpi itu. Banyak orang memperhatikan kami sedari tadi, namun aku acuh saja. Menganggap semuanya tidak ada karena aku sangat penasaran dengan penujual mimpi ini.
“Kalau begitu aku beli satu mimpi, boleh Pak?”
“Tentu dengan senang hati” sambil tertawa sebentar seperti baru dapat proyek begitu besar, kemudian dia melanjutkan bertanya “Umur anak ini berapa?”
“Dua puluh dua tahun, Pak.”
“Apa kamu menginginkan sesuatu yang kamu impikan menjadi kenyataan?”
“Ada, Pak.”
“Apa itu? Sebutkan satu saja impian yang paling kamu inginkan.”
“Emm…” berpikir sejenak kemudian aku melanjutkan berpikir. Ini kan hanya main-main, aku tidak perlu menanggapinya dengan serius. Toh, kalaupun jadi kenyataan ya itu beruntung kalau tidak yasudahlah. Aku kan Cuma penasaran.
“Aku mencintai seorang wanita, namun aku sulit mendekatinya.” Aku jawab dengantatapan yang agak memelas kepadanya.
“Lantas? Apa yang kamu inginkan dengannya?”
“Aku ingin setidaknya bisa dekat dengannya. Walaupun dia tidak menjadi milikku.”
“Siapa namanya?”
“Wisda.”
“Umurnya?”
“Dua puluh dua juga. Sama persis dengan saya.”
“Ini mimpimu.” Jawabnya sambil tersenyum. Sambil menyodorkan secarik kertas kecil kepadaku.
“Ini harus kau pegang kemanapun kau pergi. Jangan kau lepaskan jika kau masih ingin dekat dengan Wisda.” Katanya.
Sesudah ku serahkan uang seribu kepadanya, akupun pergi meninggalkannya. Dengan tanda tanya yang makin besar. Apa yang dimaksud menjuual mimpi yang seperti ini. Saat aku membeli aku hanya mendapatkan secarik kertas kecil bertuliskan “Aku Ingin Dekat Dengan Wisda” dan dia menyuruhku membaw kemanapun aku pergi. Apa ini semacam jimat? Tapi kenapa begitu murah sedangkan jimat di dukun tetangga sebelah rumah saja sampai berjuta rupiah.
***
Beberapa hari aku memandangi kertas yang makin kumal itu, belum juga aku menemukan jawaban terhadap pertanyaanku tentang penjual mimpi dan mimpi yang dijualnya itu. Sampai pada suatu malam aku sadar, dia memberikan kertas itu dan kenapa dia menjual mimpi.
“Aku tahu mimpi itu semacam sebuah pengharapan. Membaca kertas ini berarti aku berdoa. Setiap ucapan itu adalah doa dan jika doa digabungkan dengan harapan akan makin mudah mimpi itu tercapai.”
Setidaknya begitulah maksudnya. Dia memberikan semacam doa dan pengharapan. Dia memberikan kertas itu dan menyuruhku membawanya setiap saat sampai aku tidak mencintai Wisda lagi. Artinya selama aku masih mencintai Wisda, tentu aku juga terus berharap dengan kertas itu.
Setelah sadar, aku hendak ingin menemui si penjual mimpi tadi. Namun ternyata sudah tidak ada di tempat biasa dia mangkal. Maka aku tanya pedagang sayur yang ada didekatnya.
“Dua hari lalu dia bilang dia sedang sakit dan mau liburan. Dia juga bilang padaku dia bermimpi keliling dunia. Seperti orang gila saja.” Jawab penjual sayuran itu. 

2011

Komentar

Postingan Populer