Burung Kedasih, Selaka Mitos Bulan Juni
Awal datangnya hujan pada
musim penghujan tahun 2019 ditandai dengan munculnya fenomena ular cobra baik
jenis king cobra dan cobra jawa yang menghebohkan masyarakat. Seakan lebih
ramai daripada tahun-tahun sebelumnya, keberadaan ular cobra ini agaknya
semakin viral dengan cepatnya media informasi menyebarluaskan berita ini sampai
pada siapapun melalui berbagai platform digital. Tanggapan masyarakat pun
beragam mulai dari yang sudah biasa, sampai yang heboh dan menjadi ahli ular
dadakan.
Fenomena tersebut agaknya
mewarnai hal-hal yang menjadi penanda (titen) bagi masyarakat secara umum. Ilmu
titen pada masyarakat Jawa pada khususnya memiliki kejelian dalam menelaah
gejala-gejala yang disampaikan alam melalui cuaca, bahkan makhluk hidup
lainnya. Dijelaskan pula dalam peristiwa tersebut bahwa ular menjadi salah satu
penanda pergantian musim yang jelas. Secara ilmiah, perkembang biakan ular
cobra menjadi penanda keberadaan musim kemarau yang segera berganti.
Jika cobra dianggap
sebagai penanda datangnya penghujan, ada pula binatang yang menjadi penanda
musim kemarau datang sekaligus dipercaya membawa beragam mitos mistis. Burung kedasih,
yang diketahui seringkali datang saat menjelang musim kemarau tiba, dipercaya
pula sebagai pembawa kematian. Maka, burung ini menjadi salah satu burung yang
dihindari untuk dipelihara oleh para kolektor burung.
Burung kedasih ini
menjadi penanda musim pancaroba antara penghujan dan kemarau. Selain memberikan
titen pergantian musim, mitos lainnya yang dipercaya oleh masyarakat beberapa
daerah di Yogyakarta, burung ini jelmaan dari siluman atau setan yang sedang
berupaya mencari mangsa manusia. Ada pula yang mempercayai burung ini sebagai
pembawa penyakit. Pada saat nanti suara burung ini tak terdengar lagi, kutukan
dan penyakit yang dibawa burung kedasih juga hilang secara tiba-tiba.
Penjelasan secara ilmiah
seperti dilansir dalam tulisan kr.com Slamet menyatakan
bahwa saat musim masuk kemarau, burung-burung tersebut sudah bermigrasi ke
utara untuk kembali ke Asia Daratan setelah melakukan perjalanan dari benua
Australia. Perjalanan ribuan burung Kedasih ini melewati Pulau Jawa, termasuk
Yogyakarta sehingga beberapa waktu terakhir masyarakat kerap mendengar suaranya.
Meski penjelasan
secara ilmiah mengenai keberadaan burung kedasih hanyalah berupa mitos belaka,
namun agaknya kepercayaan masyarakat pada tanda-tanda yang disampaikan burung
kedasih melalui ilmu titen masyarakat, perlu dipertimbangkan. Gejala alam adalah
suatu hal yang perlu dipelajari dengan seksama dan kurun waktu yang tak sebentar.
Itulah keunikan lapisan masyarakat yang masih menggunakan jitunya ilmu titen dalam
menjalankan aktivitas budaya dan sosialnya.
Komentar
Posting Komentar